Malam itu saya bertugas sebagai ko-asisten di sebuah rumah sakit di Tangerang, ketika seorang pasien anak perempuan berusia 12 tahun datang dengan keluhan demam tinggi dan sesak nafas. Pemeriksaan dengan stetoskop saja sudah cukup untuk memastikan bahwa anak tersebut menderita radang paru-paru akut parah. Setelah menjelaskan betapa seriusnya penyakit sang pasien, saya menganjurkan ayah sang pasien untuk membawa anak tersebut ke rumah sakit yang lebih memadai fasilitasnya. Namun sang ayah menyatakan tidak punya uang dan hanya bisa pasrah. Semalaman saya dan seorang rekan sejawat saya bergulat dengan keterbatasan yang kami hadapi untuk menyelamatkan nyawa sang anak, namun kami harus menerima kenyataan bahwa kami kalah ketika anak tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Kejadian tersebut menggurat hati saya sangat dalam. Kesedihan saya mendalam walaupun anak tersebut bukan keluarga saya. Hati saya menangis. Kejadian itu membuat saya berpikir, bahwa sepandai apapun saya menjadi seorang dokter, setulus apapun hati saya untuk menolong, sekeras apapun raga saya berupaya, namun tanpa kemampuan ekonomi pasien, semua menjadi sia-sia. Pasien tersebut bukan meninggal karena sakitnya, tetapi karena ketidakmampuan ekonominya. Kejadian tersebut sudah duapuluh empat tahun yang lalu, ketika saya di tingkat akhir Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, namun semuanya masih jelas teringat.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, saya terus berpikir bagaimana caranya agar dapat menolong masyarakat yang tidak mampu membayar untuk pengobatannya. Memberikan pengobatan gratis bukanlah solusi jangka panjang. Di samping itu, mereka harus punya kebanggaan diri bahwa dirinya bukan hidup dari belas kasihan orang lain, tetapi atas kemampuannya sendiri. Tidak ada jalan lain kecuali mereka harus punya kemampuan menghasilkan pendapatan yang cukup, menjadi masyarakat yang produktif, yang menghasilkan lebih daripada yang dikonsumsi. Dan cara terbaik untuk bisa demikian adalah dengan mendapatkan pendidikan yang cukup untuk menjadi manusia produktif. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa pendidikan bukan hanya pendidikan formal, namun penelitian menunjukkan secara populasi, pendidikan formal merupakan yang paling efektif.
Berbicara mengenai pendidikan masyarakat berarti kita berbicara mengenai pendidikan nasional. Upaya pemerintah untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pendidikan nasional terus dilakukan. Namun tetap saja kemajuannya tidak memadai. Setiap tahun terjadi polemik mengenai Ujian Nasional, yang sesungguhnya berakar pada ketimpangan kualitas pendidikan antar daerah. Di satu sisi kita perlu mempunyai standar minimal kualitas pendidikan, namun di sisi lain ketidakmampuan menyediakan guru dan sarana pendidikan yang memadai untuk mencapai standar minimal tersebut menyebabkan usaha ujian nasional menjadi suatu ketidakadilan bagi masyarakat daerah. Kualitas guru merupakan kunci utama dalam penentuan kualitas pendidikan. Namun harus diakui, jumlah guru berkualitas masih sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan. Makin miskin suatu daerah, makin rendah daya tarik daerah tersebut, sehingga para guru yang mau bertugas di sana pun adalah guru seadanya. Padahal makin miskin suatu daerah, makin penting pendidikan berkualitas yang diperlukan untuk mengangkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Ironi ini bagaikan suatu lagu lama, yang walaupun sumbang tetap diterima apa adanya dan dianggap wajar tanpa harus diperbaiki.
Lepas dari penilaian terhadap upaya dan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan, kita harus menyadari bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang medannya memang sulit. Tantangan yang paling mendasar adalah membangun infrastruktur, baik infrastruktur fisik, energi, maupun infrastruktur komunikasi, dan kemudian baru membangun sarana pendidikan. Jangankan di luar pulau Jawa, di sebuah desa di Sukabumi saja seorang anak harus berjalan lebih dari lima kilometer dari rumahnya untuk ke sekolah, melewati jalan desa yang naik turun dan licin. Di seluruh Indonesia, banyak anak yang harus berjuang secara fisik untuk mencapai sekolahnya, melewati jalan yang terjal, menyeberangi sungai dengan jembatan darurat, menembus hutan, menghadapi hujan dan terik matahari. Di satu sisi hal tersebut melatih mental anak-anak tersebut, namun tingginya kesulitan dan bahaya yang dihadapi, mungkin tidak sepadan dengan manfaat yang diperoleh.
Pengalaman membangun di bidang infrastruktur komunikasi menunjukkan, bahwa menjangkau daerah-daerah di seluruh Indonesia dengan kabel telpon merupakan suatu usaha yang sulit dan memberikan hasil yang tidak memuaskan baik dari segi jangkauan maupun kualitas. Berpuluh-puluh tahun hal ini dikerjakan oleh Telkom Indonesia, sampai tiba teknologi telpon seluler di tahun 1990-an. Dalam tempo kurang dari 25 tahun, kemajuan teknologi telpon seluler ini meloncati apa yang sudah dibangun jauh lebih lama melalui metode konvensional telpon kabel. Sekarang kita bisa melihat bahwa di desa-desa terpencil sekalipun, masyarakat bisa berkomunikasi melalui telpon seluler, dengan biaya yang sangat terjangkau dan kualitas yang lebih baik. Pengalaman ini dapat kita analogikan dengan usaha membangun pendidikan nasional. Metode ‘bricks and mortar’ yang konvensional dengan cara mengirimkan guru ke daerah-daerah bagaikan membangun jaringan kabel telpon, berpuluh-puluh tahun dilakukan tanpa memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi cara baru dalam pembelajaran dengan menggunakan teknologi saat kini yaitu metode e-Learning menjanjikan loncatan yang bisa menjangkau anak didik jauh lebih luas, dengan kualitas jauh lebih baik, dan dapat dilakukan dengan cepat. Beberapa pengalaman dengan anak-anak di Afrika menunjukkan betapa cepatnya anak pra-sekolah dan sekolah dini belajar pelajaran sekolah dari komputer tablet yang diberikan oleh Yayasan One Laptop Per Child, mengungguli mereka yang belajar secara konvensional di bangku sekolah.
Apa harapan kita apabila pendidikan berkualitas dapat menjangkau lebih banyak anak? Bukan saja hal tersebut memberikan masa depan yang baik kepada anak tersebut di kemudian hari, namun hal tersebut juga akan mengangkat ekonomi keluarganya, lingkungannya, desanya, dan tentunya negara ini. Bukan hanya dari segi ekonomi yang membaik, kita juga akan melihat masyarakat yang makin mengerti tata-krama, tata-sosial, dan peraturan-peraturan. Kita semua tentu sering melihat tingkah laku para pengemudi motor yang melanggar aturan bahkan membahayakan nyawanya sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari atau tidak mengakui bahwa hal tersebut tidak pantas. Mengapa mereka seperti itu? Tentunya karena mereka belum mendapatkan pendidikan yang benar-benar dimengerti. Banyak sekali kejadian yang dilakukan masyarakat kita yang didorong oleh cara berpikir primitif yang tidak terjaga oleh nilai-nilai yang diajarkan melalui pendidikan. Nilai-nilai Pancasila yang sedemikian bagusnya, seakan hanya menjadi dokumen negara tetapi tidak hidup di hati masyarakat. Tindakan menghukum mereka yang tidak terdidik bukan merupakan pemecahan masalah, bahkan menambah masalah. Dengan pendidikan nasional yang lebih baik, bukan saja ekonomi negara kita akan lebih maju, namun pranata sosial dan pranata hukum pun akan berjalan dengan lebih menenteramkan hati, dan itu semua merupakan komponen dari kesejahteraan. Bukankah itu cita-cita kita mendirikan negara merdeka?
Dasar pemikiran di atas mendorong saya untuk melakukan segala upaya untuk dapat mewujudkan ide merevolusi sistem pendidikan nasional agar menggunakan e-Learning sebagai metode belajar utama, menggantikan metode belajar konvensional. Bukan di tingkat perguruan tinggi, tetapi ini harus dimulai sedini mungkin sejak anak mengenal kebiasaan belajar, yaitu sejak tingkat sekolah dasar. Dengan memulai kebiasaan belajar melalui metode e-Learning sejak usia dini, mereka tidak mengalami kesulitan yang dialami orang yang terbiasa belajar dengan metode konvensional kemudian harus beralih menjadi metode e-Learning. Melalui internet, mereka akan menjadi penduduk global, berbahasa internasional, menguasai konten pembelajarana dari berbagai negara, dan kemudian siap membawa Indonesia menjadi negara maju yang bermartabat. Tidak akan ada lagi polemik ujian nasional yang disebabkan oleh ketimpangan mutu pendidikan, karena semua anak didik bisa langsung mengakses konten pendidikan yang bertaraf internasional.
Dalam buku ini saya menguraikan semua hal di atas dengan menggunakan referensi-referensi untuk menunjukkan bahwa pemikiran ini bukanlah suatu mimpi di siang bolong (daydreaming). Selain itu mimpi tersebut juga perlu diuraikan langkah-langkah pencapaiannya.
Buku ini sebenarnya merupakan final paper saya untuk Taskap (Tugas Karya Perorangan) di pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI yang baru saya selesaikan. Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, menjadi satu di antara limapuluh empat pemimpin nasional yang bergabung dalam Program Pelatihan Singkat Angkatan (PPSA) 19 tahun 2013. Dalam pendidikan tersebut saya juga berkesempatan mengenal rekan-rekan pemimpin nasional dari berbagai komponen bangsa yang idealis dan berwawasan luas. Hal ini menghidupkan semangat saya bahwa suatu hari, pemikiran saya dapat menjadi kebijakan negara, sehingga mimpi untuk merevolusi Sistem Pendidikan Nasional ini dapat tercapai.
Saya mengucapkan terimakasih tidak terhingga kepada semua pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung membuat saya bisa menyelesaikan buku ini, termasuk kepada seluruh jajaran di Lemhannas RI, rekan-rekan saya di PPSA-19 Lemhannas RI, Penerbit Gramedia, para mentor saya Bpk. Ir. Teddy Rachmat, Dr. Boenjamin Setiawan PhD, Bpk. Hari Darmawan, Bpk. DR. Pandji Wisaksana, dan sahabat-sahabat lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Akhir kata, saya berharap buku ini bisa berguna bagi kemajuan pendidikan bangsa kita, dan Indonesia bisa berjaya di dunia karena masyarakatnya sejahtera.
Jakarta, 25 Februari 2014
Dr. Bayu Prawira Hie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar